![]() |
Gambar sebuah ilustrasi guru dengan beban administrasi yang banyak. (hasil tangkapan info kementrian pendidikan) |
HARIANWANGON - Dalam diam, seorang guru duduk di ruang kelas yang kosong. Keringat di dahinya bukan karena mengajar, tapi karena mengejar tenggat laporan.
Ia merindukan masa di mana interaksi dengan murid lebih penting daripada tanda tangan di lembar dokumen. Ini bukan kisah satu guru, ini adalah jeritan hati ribuan guru di seluruh Indonesia.
Antara Mengajar dan Mengisi Formulir
Dulu, menjadi guru adalah tentang mendidik, menginspirasi, dan membentuk karakter. Kini, guru terjebak antara menyusun RPP, mengisi e-kinerja, memindai QR absen, hingga merekap nilai di banyak platform. Setiap detik yang seharusnya untuk murid, tersita oleh sistem.
Administrasi Tak Ada Habisnya
Setelah pulang mengajar, bukan waktu istirahat yang menanti, tapi laporan yang menumpuk. Guru menjadi staf administrasi tak bergaji. Banyak dari mereka mengorbankan waktu keluarga demi mengejar tumpukan dokumen. Pendidikan berubah dari panggilan hati menjadi beban birokrasi.
Murid yang Dilupakan
Ketika fokus guru dicuri oleh berkas dan aplikasi, siapa yang benar-benar melihat murid? Banyak anak-anak datang dengan luka, masalah, dan kegelisahan, namun tak ada waktu untuk mendengar mereka. Guru yang seharusnya menjadi pembimbing, malah menjadi pegawai sistem.
Guru Butuh Merdeka
Merdeka belajar hanya akan menjadi slogan jika gurunya tidak dimerdekakan. Pembebasan guru dari belenggu administrasi harus menjadi prioritas. Cukup satu sistem yang sederhana. Cukup satu tempat untuk menilai. Sisanya, biarkan guru kembali menjadi manusia yang mengajar, mendidik, dan mencintai muridnya.
Saatnya kita bertanya, siapa yang sebenarnya kita layani: murid atau sistem? Jika pendidikan ingin maju, bebaskan dulu gurunya. Karena tak ada bangsa besar tanpa guru yang merdeka dan berdaya.***
Sumber : Div. Humas Mendikdasmen