Ribuan Ummat Budha Lakukan Kirab Waisak di Sekitar Candi Borobudur Magelang. (Foto Dari: kemenag.go.id) |
HARIANWANGON - Magelang, Ribuan orang berjejer rapi di sepanjang Jalan Salaman-Borobudur, Kota Magelang. Sepanjang 4,3 kilo meter jalan raya tersebut, tampak bapak-bapak yang mengisap rokok diujung bibirnya, hingga para Ibu-ibu berjilbab sambil menggendong anaknya yang tersenyum memegang balon karakter kartun.
Dari pinggir jalan itu, sambil melambaikan tangan mereka meneriakkan selamat Waisak kepada ribuan umat Buddha yang melakukan proses Kirab Waisak dari pelataran Candi Mendut, hingga Candi Borobudur untuk merayakan Hari Raya Waisak 2568 Buddhist Era (BE).
Toleransi Prosesi Waisak
Saya pun bertanya kepada salah satu warga berjilbab tadi dan jawabannya pun membuat bulu kuduk saya berdiri, bukan takut, melainkan takjub. “Panas terik seperti ini apa alasan Ibu melihat kirab Waisak ?,” tanya saya.
“Saya warga sekitar Candi Borobudur. Setiap tahun kami melihat kirab ini dan kami selalu menyemangati mereka yang kelelahan sambil mengucapkan selamat Waisak. Ini biasa kami lakukan,” sahut Wirda, nama perempuan tersebut, Kamis (23/5/2024).
Dari jawaban tadi saya pun berkesimpulan, kalau warga sekitar memang sudah terbiasa toleran dan menghargai umat lainnya, karena tiap tahun menyaksikan kirab Waisak. Menurut Dirjen Bimas Buddha Kemenag RI, Supriyadi, kirab Waisak ini menggambarkan bagaimana tradisi Buddhis yaitu tahapan perjalanan. Kala berjalan tersebut, umat Buddha merenungkan keagungan Buddha dhamma yang menjadi panutan mereka.
Apa itu Kirab Waisak ?
Kirab Waisak ini membawa berbagai macam pernak-pernik yang menggambarkan ke-Bhinneka-an dari mulai lambang Garuda, hasil pertanian. Inti dari kirab ini adalah membawa air suci dan api dharma yang telah disemayamkan di Candi Mendut hingga akhirnya di arak mengelilingi Candi Borobudur dan ditutup dengan menerbangkan lampion pada waktu petang.
Potret Moderasi Beragama
Meskipun di bawah terik matahari Kabupaten Magelang, potret toleransi ini membuat suasana menjadi teduh, riuh, namun tetap sakral. Jika kita melihat kilas balik pada tahun 2024 banyak sekali isu intoleransi muncul. Terakhir yang ramai jadi perbincangan, pembubaran mahasiswa umat Katolik Universitas Pamulang yang tengah melantunkan doa Rosario di Pamulang, Tangerang Selatan. Hal ini membuat bulu kuduk saya merinding, bukan takjub, melainkan takut.
Lantas, potret kecil warga sekitar Candi Borobudur Kabupaten Magelang ini apakah dapat kita replikasi di seluruh penjuru Indonesia? Dengan segala ragam adat, suku, budaya, bahasa, aliran dan 6 (enam) Agama yang telah di akui oleh negara, potensi ini sangat mungkin dilakukan.
Bagaimana Perkembangan Moderasi Beragama di Indonesia ?
Pertama, melalui Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama sebagai landasan hukum dalam mempertebal harmoni yang secara serius dilakukan oleh pemerintah dan Kementerian Agama didapuk sebagai aktor utama. Berbagai macam strategi telah dilakukan sehingga terus meningkatkan kerukunan umat beragama dari tahun ke tahun, lalu apa buktinya?
Kedua, mengutip laman Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, pada tahun 2023, Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) berada di angka 76.02 % dengan proporsi jenis kelamin 49.96 % (Perempuan) dan 50.04 % (Laki-laki), dan jika dilihat dari segi usia, pada usia 40-45 memiliki indeks toleran paling tinggi berjumlah 25.55 % disusul usia 30-39 22.34 % dan usia 20-29 sebesar 17.85 %.
Ketiga, peran penting masyarakat jadi salah satu pilar utama dalam membumikan toleransi melalui moderasi beragama, mengutip ucapan Bapak Pluralisme Indonesia, Almarhum Gus Dur pernah berkata_ “ Agama melarang adanya perpecahan, bukan perbedaan “_. Hal ini yang harus kita pahami secara bersama bahkan perlu diinternalisasi sejak dini. Sehingga, tidak hanya cukup melalui regulasi saja, melainkan peran aktif masyarakat untuk sama-sama membudayakan toleransi.***
Sumber : kemenag.go.id