Pengunjung menyaksikan pameran kontemporer tentang gajah Sumatra (Elephans Maximus Sumatranus) yang terlibat dalam kebencaaan di museum tsunami, Banda Aceh, Aceh. (Foto Dari: indonesia.go.id) |
HARIANWANGON - Melestarikan budaya merupakan suatu kewajiban bagi seluruh komponen bangsa Indonesia. Dengan ikut melestarikan budaya, berarti kita ikut membangun jati diri bangsa.
Salah satu bentuk melestarikan dan cinta budaya bangsa adalah dengan menghadirkan museum dan cagar budaya di tengah-tengah masyarakat. Masalahnya di tanah air, keberadaan museum tampaknya belum dipandang sebagai sesuatu yang penting. Alhasil, museum acap sepi peminat dan kurang terawat.
Bandingkan dengan Museum Louvre di Paris atau National Gallery of Art di Washington. Terletak di Rive Droite Seine, Paris, Prancis, Museum Louvre sendiri dikenal sebagai museum seni terbesar yang paling banyak dikunjungi.
Di Louvre, dipamerkan kurang lebih 35.000 benda yang berasal dari zaman prasejarah hingga abad ke-19. Di area seluas 60.600 meter persegi itu, setiap tahunnya sebanyak 7 juta lebih wisatawan datang berkunjung untuk mengagumi karya-karya yang dipamerkan di sana. Tentu jika dihitung dengan uang, museum itu sangat berkontribusi bagi devisa negara tersebut.
Model museum dan cagar budaya serupa itulah yang kemudian melatarbelakangi lahirnya Indonesia Heritage Agency (IHA), yang diluncurkan di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta, pada 16 Mei 2024. IHA merupakan Badan Layanan Umum (BLU) yang mewadahi dan mengelola 18 museum dan 34 cagar budaya nasional yang tersebar di seluruh Indonesia.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim saat peluncuran IHA menyampaikan kepada masyarakat agar senantiasa menjadikan museum dan cagar budaya sebagai sebuah tujuan wisata edukasi. "Jadikan museum dan cagar budaya sebagai tujuan wisata edukasi dan bawa serta anak-anak kita untuk mengenal dan mempelajari jati diri bangsa dan akar budayanya," ujarnya.
Nadiem mengatakan, kebanyakan museum di Indonesia menjadi ruang yang sepi dan diam. Selain juga tidak menjadi pilihan kunjungan bagi masyarakat. Untuk itu, diperlukan langkah berani untuk mentrasformasi museum dan cagar budaya yang ada.
"Saatnya kita menjadikan museum dan cagar budaya sebagai ruang belajar yang terbuka, inklusif, dan mendukung perwujudan pembelajaran sepanjang hayat," tambahnya.
Tak Muncul Tiba-Tiba
Menurutnya, pembentukan BLU museum dan cagar budaya yang disebut Indonesia Heritage Agency tersebut bukan muncul tiba-tiba, namun sudah direncanakan bertahun-tahun.
"Ini bukan visi yang muncul tiba-tiba saja. Ini sudah bertahun-tahun kami merencanakan ini dan akhirnya pada malam ini kita berhasil meluncurkan. Ini bukan perjalanan yang mudah bagi kami," paparnya.
Lebih lanjut, Nadiem menambahkan visi ke depan IHA yang kini hadir mengelola 18 museum dan 34 cagar budaya nasional yang tersebar di seluruh Indonesia ini merupakan tantangan yang sangat besar.
"Ibu dan bapak, ini bukan hal mudah untuk melakukan reimajinasi, tapi saya yakin perjalanan kita akan membuahkan hasil," ujarnya.
Pada kesempatan terpisah, Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid berharap, IHA menjadi motor penggerak dalam mewujudkan masyarakat yang berbudaya.
Menurutnya, museum dan cagar budaya harus dikelola dengan cara yang lebih profesional, sehingga betul-betul menjadi sumber inspirasi dan pengetahuan yang menyenangkan bagi masyarakat.
"Dengan peluncuran IHA, hal ini bukan hanya tentang pengelolaan museum dan cagar budaya, tetapi juga tentang bagaimana kita, sebagai bangsa, memanfaatkan dan merawat kekayaan budaya yang kita miliki," terang dia.
Sementara itu, pelaksana tugas (Plt) Kepala IHA Ahmad Mahendra menjelaskan, terdapat dua upaya guna mewujudkan komitmen IHA dalam memelihara dan melestarikan warisan budaya dan sejarah Indonesia.
“Optimalisasi standar pelayanan dan pengelolaan serta konsistensi upaya revitalisasi yang merata pada seluruh museum dan cagar budaya di bawah naungan IHA adalah kunci untuk meningkatkan pengalaman pengunjung, sekaligus mendekatkan diri kepada publik,” katanya.
Ahmad Mahendra menjelaskan, pemerintah kini sedang merevitalisasi sejumlah museum dan cagar budaya dengan menekankan pendekatan konsep reimajinasi yang lebih relevan baik dari sisi sosial maupun budaya. Menurutnya, konsep reimajinasi IHA digagas berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yang mencakup tiga pilar utama (Reimajinasi), yaitu reprogramming (pemrograman ulang), redesigning (perancangan ulang), dan reinvigorating (penyegaran kembali).
Reprogramming adalah tentang memprogram ulang koleksi dan kuratorial, mempertajam narasi besar dari setiap museum dan cagar budaya untuk memastikan bahwa kisah-kisah yang diceritakan tidak hanya berakar dalam sejarah, melainkan juga relevan dengan konteks sosial dan budaya saat ini.
Redesigning merupakan bentuk perancangan ulang untuk memperkaya pengalaman pengunjung, mengutamakan estetika, keselamatan, dan kenyamanan, serta penghormatan terhadap koleksi warisan budaya. Perancangan ulang akan mematuhi standar human design yang menghormati setiap koleksi, dengan memaksimalkan keterlibatan pengunjung.
Sementara itu, reinvigorating bermaksud membawa semangat baru ke dalam kapasitas lembaga. "IHA berkomitmen untuk meningkatkan profesionalisme dan kompetensi individu yang terlibat dalam mengelola dan mengemban tugas lembaga ini, menjamin keberlanjutan dari setiap inisiatif yang dilaksanakan," ujarnya.***
Sumber : indonesia.go.id