Pasar Papringan ini memiliki konsep mengikuti pasar di Jawa zaman dahulu, seperti lokasi, mata uang, seragam penjual dengan kain lurik, bahkan tempat barang belanjaan.(Gambar Dari: Indonesia.go.id) |
HARIANWANGON - INDONESIA, Sekitar seratus meter dari Dusun Ngadiprono, Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, ada tempat wisata yang kini menjadi tujuan utama pelancong di Jawa Tengah. Lahan kebun bambu seluas 2.500 meter dibuat menjadi Pasar Papringan.
Pasar Papringan Temanggung merupakan destinasi wisata baru yang seakan mengajak pengunjung kembali ke masa lampau masyarakat Jawa. Seperti kita memasuki mesin waktu. Kemenparekraf merekomendasikan pasar ini sebagai salah satu destinasi wisata pasar tradisional unik di tanah air, seperti halnya Pasar Terapung Banjarmasin; Pasar Bisu di Tanah Datar, Sumatera Barat; dan Pasar Kaget di Wamena, Papua.
Kawasan Pasar Papringan ini memiliki konsep mengikuti pasar di Jawa zaman dahulu, seperti lokasi, mata uang, seragam penjual dengan kain lurik, bahkan tempat barang belanjaan. Konsep pasar ini juga dapat ditemui di Magelang dan Kediri, Jawa Timur.
Pasar Papringan Temanggung dibentuk dan dikelola pemuda Dusun Ngadiprono yang tergabung dalam Komunitas Mata Air, sebuah komunitas yang peduli akan upaya konservasi lingkungan. Komunitas ini bekerja sama dengan Komunitas Spedagi. Lantas, upaya ini mendapat sambutan hangat dari pemerintah daerah setempat, yang kemudian membantu usaha konservasi rumpun bambu menjadi sebuah wisata desa.
Kata papringan sendiri berarti kebun bambu. Pasar Papringan merupakan pasar di kebun bambu. Pada awalnya, Pasar Papringan Temanggung dirintis pada 2016 di Kandangan, namun gelaran tersebut hanya berlangsung sembilan kali dalam waktu satu tahun. Kemudian pada 2017 lokasi dipindahkan ke Ngadiprono.
Inisiatif dua komunitas tersebut bersama warga Desa Ngadimulyo kemudian menata lahan rumpun bambu yang dulunya area pembuangan sampah menjadi pasar yang layak dan nyaman.
Mereka menata area tersebut dengan lapak, tempat duduk, juga area parkir ala Jawa tempo dulu. Penataan ini sekaligus untuk menghidupkan wisata di desanya. Seluruh fasilitas pasar sebagian besar memakai bahan dari bambu.
Kini, setiap kali Pasar Papringan digelar, selalu dikunjungi ratusan orang yang tidak hanya datang dari daerah Temanggung saja. Banyak wisatawan dari luar kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, dan Magelang yang datang berkunjung.
Sebagaimana konsep gelaran pasar tempo dulu, pasar dibuka berdasarkan hari baik dalam penanggalan Jawa. Dalam hal ini, hitungan hari baik itu jatuh pada Minggu Wage dan Minggu Pon.
Sedangkan jam operasional Pasar Papringan Temanggung mulai dari pukul 6 pagi hingga 12 siang. Pasar Papringan digelar dua kali dalam 35 hari (selapan pada kalender Jawa, lebih beberapa hari dari 1 bulan kalender Masehi).
Oleh karena itu, pastikan para pengunjung mengetahui jadwal hari pasar ini. Terutama bagi masyarakat yang tinggal di luar kota. Jangan sampai sudah jauh-jauh datang, namun Pasar Papringan Temanggung tidak ada.
Sesuai konsep pasar Jawa, alat pembayarannya pun menggunakan mata uang tempo dulu, pring. Semacam koin bambu. Pengunjung merasakan sensasi transaksi mata uang di pasar Jawa dahulu kala. Mata uang ini terbuat khusus dari kayu bercap Pasar Papringan di satu sisi, dan sisi lainnya bertuliskan nilai mata uang. Satu pring bila dirupiahkan sama dengan Rp2.000.
Penukaran uang dilakukan di loket sebelum pintu masuk pasar. Nominal terkecil adalah Rp2.000, kemudian kelipatan Rp20.000 dan Rp50.000. Daftar harga pun menyesuaikan dengan alat pembayaran. Contohnya, makanan berat senilai 2-6 pring. Harga termahal untuk produk kerajinan yang ada dibanderol sampai 15 pring.
Lapak utama Pasar Papringan adalah penjual aneka makanan dan minuman khas Temanggung. Semisal gemblong, mendut, glanggem, jenang, srowol, kimpul kukus, lentheng, sego jagung, lontong mangut, dan kopi asli Temanggung. Jajanan khas Jawa yang mulai jarang ditemui, bisa dinikmati dengan mudah di sini.
Selain itu ada juga kerajinan bambu (terutama produk souvenir), serta berbagai hasil pertanian penduduk desa, seperti pasar tradisional pada umumnya. Seperti cabai, sayur mayur bahkan ada yang menjual wedus (kambing) dan kelinci.
Penyajian makanan juga unik dan sangat kental dengan adat Jawa. Sama sekali tanpa menggunakan bahan plastik. Penjual kuliner khas Temanggung ini menggunakan keranjang anyaman pring, bathok kelapa, daun pisang, daun jati, piring rotan, dan kendil. Mereka juga memasak dari bahan tanah liat seperti tungku dan kayu bakar.
Pengelola Pasar Papringan juga menyediakan area permainan anak-anak, perpustakaan mini, musala, hingga homestay di rumah warga Ngadiprono.
Rute menuju Pasar Papringan bisa ditempuh kurang lebih 30 menit dari alun-alun Kota Temanggung kea rah jalan raya Parakan-Kedu. Rute ini biasa dilintasi bagi masyarakat yang bepergian ke Solo, Magelang atau Wonosobo melalui jalur tengah.
Jadi kapan lagi merasakan sensasi kembali ke era pasar Jawa tempo dulu sambil merasakan semilir angin hutan bambu Temanggung? Pasar Papringan jawabannya. Sebuah perpaduan konsep ekowisata dan budaya.
Sumber: Indonesia.go.id