HARIANWANGON - Elida lahir dan besar di keluarga yang mayoritas bekerja sebagai guru. Dari delapan bersaudara, hanya dua saudara kandungnya yang bekerja sebagai perawat. “Sisanya kami guru semua. Dan kebanyakan di bawah Kemenag (Kementerian Agama). Mungkin karena mengikuti jejak bapak,” kata guru MIN 10 Asahan ini.
Ayah Elida yang juga dulu bekerja sebagai guru jadi salah satu inspirasi terbesarnya untuk memilih mengajar sebagai jalan pengabdian. Minat menjadi pengajar memang tidak datang tiba-tiba. Elida kecil sebenarnya hanya ingin jadi ibu rumah tangga ketika sudah dewasa. Namun kesempatan untuk mengajar hadir setelah ia bekerja di MIN 10 Asahan sebagai pegawai Tata Usaha pada 1999. Baru pada 2007 ia diangkat jadi PNS.
Meski begitu, pengalaman mengajar Elida sudah dimulai sejak dia menjadi guru TK sebelum bekerja sebagai honorer Tata Usaha. Latar pendidikan S1 Tarbiyah yang ia ambil juga menjadi kekuatan dasarnya menjadi pengajar.
Menjadi fasilitator daerah (Fasda) Program PINTAR Tanoto Foundation diakui Elida membawa perubahan besar dalam cara mengajarnya. Metode pembelajaran yang dulu cuma berfokus pada guru yang berceramah di depan kelas ternyata tak bikin anak-anak jadi lebih aktif. “Hanya peserta pasif,” kata Elida. Setelah mendapat pelatihan, ia menerapkan berbagai pendekatan cara mengajar yang lebih interaktif. Misalnya dengan lebih banyak bikin kelompok diskusi atau menggunakan alat-alat praktik saat belajar.
Bagi Elida, yang adalah satu-satunya Fasda di sekolahnya, guru jadi garda terdepan wajah pendidikan kita. Perubahan mengajar dan kesadaran guru untuk terus berinovasi, mau tak mau jadi tulang punggung murid untuk dapat pendidikan terbaik. Itu sebabnya, ia tak jarang melakukan pertemuan dan diskusi di luar kelas dengan sesama guru untuk saling bertukar pengalaman dan ilmu mengajar.***
Sumber : FB Tanoto Foundation