Songkok dipopulerkan oleh Soekarno sebagai simbol nasionalisme
Sumber Gambar : intisari.grid.id
HARIANWANGON - KOPIAH adalah tutup kepala yang terbuat dari beludru warna gelap dengan ketinggian antara 6 sampi 12 Cm. Dari segi bentuk merupakan modifikasi antara torbus Turki dengan peci India. Di tempat lain kopiah juga disebut sebagai songkok ada juga yang menyebut peci. Kopia ini sudah cukup lama dipakai oleh masyarakat Islam Nusantara terutama kalangan pesantren.
Dikisahkan bahwa seorang santri Sunan Giri Gresik dikenal sebagai raja cengkeh, karena kalau pulang ke kampung halamannya Maluku selalu membawa kopiah, sambil menyiarkan Islam di daerah yang dulu dikenal dengan nama Hitu itu membawa kopiah, setiap sebuah kopiah diganti oleh masyarakat setempat dengan cengkih yang banyak sekali, sehingga ketika kembali ke pesantren Giri santri tersebut membawa cengkih yang amat banyak, yang sangat laku di Gresik. Demikian juga santri Giri yang pulang ke daerah asalnya juga selalu membawa kopiah, sehingga tutup kepala yang satu ini menyebar di seluruh penjuru Nusantara.
Kalangan Islam pesantren mewajibkan tidak hanya kalangan santri tapi pemeluk Islam pada umumnya untuk selalu memakai tutup kepala yang digunakan sebagai bentuk kewiraian atau kezuhudan seseorang, atau minimal sebagai bentuk kelaziman. Kitab Ta’limulmuta’alim misalnya sangat menekankan untuk selalu memakai tutup kepala dalam kehidupan. Oleh pesantren tidak diterjemahkan dalam bentuk sorban atau tutup kepala lainnya, tetapi diwujudkan dalam bentuk kopiah. Oleh karena itu santri tidak pernah melepas peci, demikian juga saat menjalankan sembahyang masyarakat Islam selalu menggunakan kopiah, dianggap kurang utama bila menangalkannya.
Bahkan santri yang berani menanggalkan kopiah disebut dengan santri gundul (tidak memakai tutup kepala) dan itu kemudian diidentikkan dengan santri badung yang sering melangar tatakrama, aturan dan pelajaran. Dengan demikian salah satu bentuk tradisi pesantren adalah tradisi memakai kopiah hingga saat ini, walaupun beberapa pesantren modern mulai meningalkannya. Penggunaan kopiah sebagai identitas kiai itu semakin marak sejalan dengan semakin meluasnya Islam baik oleh para wali dan ulama maupun kiai di berbagai tempat, sehingga mereka yang sudah santri itu meneguhkan identitasnya dengan emakai kopiah berwarna hitam itu.
Ada kesepakatan tidak tertulis bahwa bagi santri atau orang Islam yang belum menunaikan ibadah haji tidak diperkenankan memakai peci haji. Karena itu bila ada orang belum haji tentu sangat malu dan dicela ketika memakai peci haji warna putih. Mereka itu tahu adat dengan demikian mereka tetap mengunakan peci hitam. Pada awal pergerakan Nasional 1908 kebanyakan para aktivis masih memakai destar dan tutup kepala blangkon, yang lebih dekat ke tradisi priyayi dan aristokrat, tetapi seiring dengan meluasnya gerakan sama rata sama rasa dan penolakan terhadap feodalisme termasuk dalam berpakaian dan berbahasa, yang menolak bahasa kromo, sebagaimana yang dikembangkan oleh Tjokroaminoto aktivis Sarekat Islam (SI) yang berasal dari Madiun dan bermarkas di Surabaya yang merupakan kota santri. Sehari-hari Cokro menakai tradisi ini.
Dengan sendirinya penampilan tokoh idola yang selalu berkopiah itu menjadi anutan kaum pergerakan baik yang santri dan kalangan priyayi. Apalagi para murid Cokro sendiri termasuk Soekarno yang dulunya masih memakai blangkon kini turut memakai kopiah. Sejak saat itu kopiah yang semula merupakan tradisi pesantren dijadikan sebagai songkok nasional atau kopiah nasional, sebagai identitas nasional yang dipelopori oleh kaum pergerakan. Sebagai orator yang ulung Soekarno tampil sebagai peraganya sendiri, yang tampil sangat prima dan mempesona, karena itu para aktivis dan priyayi mulai menggunakan kopiah, tidak hanya sebagai simbol Islamisme tetapi juga sekaligus sebagai simbol patriotisme dan nasionalisme, yang berbeda dengan para priyayi atau para ambtenar yang menjadi kolaborator Belanda.
Pada Muktamar NU ke 10 di Banjarmasin, di mana NU mulai sangat aktif melibatkan diri dalam merespon perkembangan dunia luar baik nasional maupun internasional. Saat itu NU mengakui Nasioalisme Hindia Belanda itu, pada saat yang sama membolehkan warganya untuk memakai pantalon, asal masih memakai kopiah, agar identitas kesantriannya masih tampak, sehingga masih bia dibedakan dengan kolonial Belanda. Kaum pergerakan yang dalam acara resmi baik rapat maupun perundingan selalu memakai peci. Kebiasaan itu berkembang menjadi kelaziman yang tidak pernah ditinggalkan, karena itu bila ada ada tokoh yang tidak memakai kopiah pasti menjadi rasanan para aktivis lainnya. Ketika Muhammad Hatta mewakili Indonesia dalam Konfrensi Meja Bundar di Den Hag, 27 desember 1949, Hatta digunjing oleh para aktivis lainnya sebagai blootshoofd (tanpa kopiah), sehingga ciri khas Keindonesiaannya tidak ditampilkan, yang diharapkan bisa memberi garis tegas antara nasionalisme dan kolonialisme. Bung Karno adalah salah seorang penghobi berat kopiah, karena itu ia memilih bahas sendiri untuk pembuatan kopiah dengan beludru terbaik dari luar negeri. Biasanya bila kelihatan kopiah menteri atau koleganya telah lusuh diberinya bahn beludru itu untuk dibawa ke penjait khusus.
Bahkan ketika kekuasannya telah diujung tandauk ia masih tenag bersama KH Saifuddin Zuhri berbincang tentang identitas nasional itu. Sewaktu pulang kiai itu diberi dua meter beludru yang menurut Bung karno bisa digunakan untuk membuat enam puah kopiah. Selama masa Indonesia merdeka sampai akhir orede baru kopiah yang telah menjadi identitas nasional dipakai oleh semua pejabat tinggi negara dalam acara resmi. Termasuk para kontingen olah raga atau Paskibraka, bahkan wanitapun memakai kopiah. Presiden atau menteri dalam kunjungan ke luar negeri selalu menampakkan identitas ini.
Tetapi setelah reformasi, terutama ketika liberalisme telah merambah dalam kesadaran beberapa pejabat termasuk presiden, tidak lagi menggunakan kopiah dalam acara resmi. Walaupun kopiah telah menjadi identitas nasional dipakai siapa saja baik abangan, kalangan priyayi termasuk pengikut agama non Islam, teapi Kopiah masih menjadi identitas kesantrian yang kuat, sebab dalam kopiah di lingkunagn ini menjadi pakaian sehari-hari, setidaknya untuk sembahyang.
Karena itu industri kopiah di Nusantara ini masih dikuasai kalangan santri dan tumbuh di kota-kota santri yang berbasisi nahdliyin. Sejak zaman Sunan Giri hingga saat ini Gresik tetap terdepan dalam industri kopiah, hal itu kemudian diikuti beberapa kota lain seperti Kudus, Pekalongan Tasik dan sebagainya. Saat ini produsen kopiah terkenal adalah Awing, Muslimin selain itu juga banyak produk yang lebih rendah yang diproduksi dalam rumah tangga tanpa merek Ini menunukkan bahwa identitas nasional itu masih dijaga oleh para santri dan pengrajin di masyarakat.
Sumber: https://nu.or.id/fragmen/kopiah-sebagai-simbol-patriotisme-ji0Ez