Sumber gambar : freepik.com |
HARIANWANGON - Seorang pria dan wanita yang sudah resmi menikah maka sudah resmi menjadi pasangan muhrim dengan status yang sah menjadi suami istri, muhrim yang dimaksud itu berbeda dengan status muhrim dalam hubungan keluarga (nasab). Lalu bagaimana jika pasangan ini bersentuhan dalam keadaan mempunyai wudhu, pada umumnya ada yang berpendapat bahwa wudhunya batal, ada juga yang berbendapat tidak batal dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Muhrim yang dimaksud dalam sebuah ajaran fikih tentang hukum bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang dapat membatalkan wudhu, dalam kitab Risalatul Jami’ah, dibahas mengenai hal-hal yang membatalkan wudhu (نواقض الوضوء).
Hal-hal yang membatalkan wudhu ada 4 perkara sebagai berikut :
Hal pertama:
– الخارج من احد السبيلين القبل و الدبر على ما كان الا المني
Hal yang membatalkan wudhu yang pertama adalah keluar sesuatu dari kemaluan depan maupun kemaluan belakang, apapun itu, baik cair maupun benda padat kecuali air mani. Air mani tidak membatalkan wudhu tapi mewajibkan seseorang untuk mandi hadats (mandi besar).
Jadi yang membatalkan wudhu adalah sesuatu yang keluar dari kemaluan depan ataupun kemaluan belakang, baik normal maupun tidak normal, cair maupun padat ataupun angin. Selama ada sesuatu keluar dari kemaluan depan ataupun belakang selain mani maka hal tersebut membatalkan wudhu.
Hal kedua :
-زوال العقل بنوم و غيره الا نوم ممكن مقعدته من الأرض
Di antara hal yang membatalkan wudhu ialah hilang kesadaran (hilang akal) dengan tidur atau selain tidur. Selama kesadarannya hilang total maka keadaan semacam itu membatalkan wudhu.
Termasuk juga tidur, gila, pingsan, ayan atau penyakit lain yang dapat menghilangkan kesadaran seseorang secara total maka membatalkan wudhu. Untuk tidur, ada pengecualian yakni tidur dalam keadaan duduk dengan syarat tertentu.
الا نوم ممكن مقعدته من الارض
Syarat tidurnya ada 4 :
Syarat tidur pertama adalah posisi duduknya mantap, sehingga tidak ada rongga yang membuat angin atau sesuatu keluar dari lobang duburnya (kemaluan belakang). Duduknya benar-benar mantap dengan tanah dan tidak ada rongga yang memungkinkan untuk keluar angin.
ان يكون ممكنا مقعدته من الأرض
Syarat tidur kedua :
ان يكون معتدلا حلقه
Orangnya harus memiliki postur tubuh standar (sedang), tidak terlalu gemuk dan juga tidak terlalu kurus.
Syarat tidur ketiga:
ان يستيقظ على الحالة التي نام عليها
Kondisi saat bangunnya sama dengan posisi waktu dia tidur. Jika seseorang tidur dalam posisi duduknya mantap (misal bersila), postur tubuhnya standar, dan posisi bangunnya pun masih sama dengan keadaan awal dia tidur (masih tetap bersila),hal semacam ini tidak membatalkan wudhu.
Namun bila seseorang tidur dalam keadaan duduk, kaki bersila (ditekuk), lalu bangun dalam keadaan duduk kaki berubah menjadi lurus (selunjur), maka batal wudhu karena berubah posisi. Penjelasannya adalah karena ketika dia mengubah posisi duduknya secara tidak sadar saat tertidur, tidak ada yang tahu, ada rongga yang terbuka atau tidak.
Demikian juga misalkan ada seseorang tidur dengan duduk bersila di shof pertama, lalu terbangun dengan posisi duduk bersila namun di shof kedua, maka orang tersebut batal wudhunya, walaupun bangunnya tetap dalam keadaan bersila karena dia telah berpindah posisi.
Syarat tidur keempat:
Tidak ada orang yang dapat dipercaya yang memberitahukan kepadanya bahwa wudhunya batal. Misalnya tidak ada yang mengatakan, “Hai, wudhumu batal” . Jika tidak ada yang memberi tahu seperti itu, maka dia bangun masih dalam keadaan berwudhu. Artinya, orang itu tidur dalam posisi duduk yang mantap, berpostur tubuh standar, bangun tetap dalam posisinya, tidak ada yang memberi tahu bahwa wudhunya batal, maka memenuhi empat syarat tadi.
Silahkan bangun dari tidur dan langsung sholat tanpa mengulang wudhu lagi, tidak ada masalah, sebab orang itu tidur dalam berwudhu telah memenuhi empat syarat yang disebutkan oleh para ulama, dalam hal pengecualian tidur yang tidak membatalkan wudhu. Namun, kalau ada orang yang terpercaya memberi tahu dia kalau wudhunya batal, maka wudhunya batal, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibn Hajar.
Hal ketiga :
-التقاء بشرتي رجل و امرأة كبيرين اجنبيين من غير حائل
Bersentuhan secara langsung kulit laki-laki dan perempuan dimana keduanya adalah dewasa dan keduanya adalah ajnabiyayn (tak ada hubungan mahramiyah) tanpa penghalang yakni secara langsung. Hal yang demikian membatalkan wudhu.
Apa yang dimaksud dewasa? Apakah artinya sudah baligh? Bukan itu yang dimaksud dewasa. Dalam hal ini (yakni dalam hal yang membatalkan wudhu), yang dimaksud dengan dewasa yang dianggap dapat membatalkan wudhu adalah seperti contoh berikut. Misalnya ada anak laki-laki, kemudian ada wanita normal yang tabiat, kelakuan dan nafsunya tidak berlebihan dan tidak juga kurang (nafsunya normal).
Ketika anak laki-laki tadi dipandang oleh wanita tersebut, apakah akan bangkit nafsu wanita tadi atau tidak? Kalau nafsunya tidak bangkit, anak ini masih dianggap belum dewasa, dianggap masih kecil. Maka ketika bersentuhan dengan anak ini, tidak membatalkan wudhu. Tetapi jika anak laki-laki ini dapat membangkitkan gairah wanita tersebut ketika memandang anak laki-laki ini, maka anak ini sudah dianggap dewasa walaupun belum baligh. Maka, ketika bersentuhan dengannya dapat membatalkan wudhu.
Demikian juga untuk menentukan anak perempuan dewasa atau masih kecil. Bukan dengan ukuran apakah sudah haidh atau sudah baligh. Untuk menentukannya, panggillah laki-laki yang normal, yakni laki-laki yang tabiat, kelakuan dan nafsunya normal tidak berlebihan dan juga tidak kurang. Ketika melihat anak perempuan tadi.
Jika pada saat melihat anak perempuan itu, nafsu laki-laki ini bangkit, gairahnya bangkit, maka ini perempuan sudah dianggap dewasa sehingga bersentuhan kulit dengannya dapat membatalkan wudhu. Tapi kalau laki-laki normal itu ketika memandang anak perempuan ini tidak ada gairah yang bangkit, syahwatnya tidak bangkit, maka anak perempuan tadi dianggap masih anak kecil, sehingga ketika bersentuhan dengannya tidak membatalkan wudhu.
Walaupun anak perempuan ini belum baligh namun ketika telah memenuhi kategori ini maka bersentuhan kulit antara laki-laki dengan perempuan dewasa semacam ini, dimana kedua duanya ada,a dewasa, maka dapat membatalkan wudhu.
Hal lain yang dapat membatal wudhu adalah jika antara laki-laki dan perempuan ini tidak ada hubungan mahromiyah. Apa itu mahromiyah? Mahrom adalah orang yang tidak boleh (haram) kita nikahi, karena hubungan darah, dan beberapa hubungan lainnya,dan mahrom kita telah disebutkan Allah di dalam Al Qur’an secara jelas dan terperinci.
Berikut penjelasan mahrom untuk laki-laki. Ketika laki-laki bersentuhan kulit dengannya tidak membatalkan wudhu dan juga tidak boleh dinikahi oleh laki-laki tersebut :
حرمت عليكم امهاتكم وبناتكم واخواتكم وعماتكم وخالاتكم وبنات الاخ وبنات الاخت
Disebutkan oleh Allah SWT di dalam Al Qur an, ada tujuh mahrom bagi laki-laki yang mempunyai hubungan nasab dengan laki-laki tersebut (hubungan darah) yaitu:
- Ibu. Laki-laki bersentuhan kulit dengan ibu kita tidak membatalkan wudhu.
- Albint (anak perempuan)
- Alukht (saudara perempuan), kakak atau adik perempuan
- Al’ammah (bibi atau saudara perempuan dari bapak)
- Alkholah (bibi atau saudara perempuan dari ibu)
- Bintul akh (anak perempuan dari saudara laki laki atau keponakan)
- Bintul ukht (anak perempuan dari saudara perempuan atau keponakan)
Bagi perempuan, mahromnya kebalikannya, maka mahromnya perempuan adalah sebagai berikut:
- Bapaknya
- Anak laki-lakinya
- Saudara laki-lakinya
- Saudara laki-laki bapaknya (pamannya)
- Saudara laki-laki ibunya (pamannya)
- Ibnul akh (anak laki dari saudara laki-lakinya atau keponakan laki-laki)
- Ibnul ukht (anak laki dari saudara perempuannya atau keponakan laki-laki).
Selain itu ada yang berasal dari hubungan mushoharoh (hubungan perkawinan), yaitu:
- Ummu zaujah (ibu dari istri atau ibu mertua). Bagi perempuan mahromnya, bapaknya suami (bapak mertua).
- Bintuzaujah (anak tiri perempuan). Seorang perempuan (janda) yang memiliki anak, kemudian dinikahi, maka anaknya disebut bintuzaujah.
- Zaujatul abb (ibu tiri). Istri dari ayah dan bukan ibu kandung.
- Zaujatul ibn (menantu perempuan). Jika kita memiliki anak laki-laki, anak laki-laki kita menikah dengan perempuan, istri anak kita tidak batal wudhu dengan kita. Sebaliknya perempuan, misalnya kita mempunyai anak perempuan kemudian menikah, berarti kita punya menantu laki-laki, maka menantu laki-laki itu tidak batal wudhu dengan ibu mertuanya.
Penjelasan di atas tentang al maharim dari segi nasab dan mushoharoh. Masih ada lagi yang akan dijelaskan panjang lebar. Kurang lebih sama seperti yang tujuh dari segi nasab, namanya mahrom minarrdho’ah atau karena susuan.
Biasanya saat masih bayi menyusu dengan orang lain maka ibu susunya jadi mahrom baginya, dan seterusnya saudara dari susuan ‘ammah dari susuan kholah, dan membutuhkan penjelasan yang agak panjang panjang, namun intinya seperti tadi.
Dalam penjelasan alur mahrom di atas disebutkan, ketika kita bersentuhan maka tidak membatalkan wudhu dan kita juga tidak boleh menikahinya. Hanya ini yang dinyatakan oleh Allah dalam Al Qur’an. Selain mereka, ketika kita bersentuhan kulit, maka batal wudhu kita. Bersentuhan yang membatalkan wudhu adalah yang min ghoyri haa il, (tanpa ada penghalang).
Kalau ada penghalang, misalnya baju dengan baju maka tidak ada masalah. Tapi kalau secara langsung maka membatalkan wudhu. Ada yang bertanya, “Apakah batal wudhu saya bila bersentuhan dengan istri?”. Dalam masalah ini terlihat bahwa ada laki-laki dan perempuan, keduanya bersentuhan kulit, keduanya dewasa, keduanya ajnabiyayn (tidak ada hubungan mahromiyah), maka hal tersebut membatalkan wudhu?. “bukankan dia istri saya?”. Justru karena boleh dinikahi, artinya tidak ada hubungan mahromiyah, maka batal wudhunya. Suami dengan istri batal wudhunya.
Tiga hal tadi yang kita bahas tentang bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan itu hanya dari segi hal yang membatalkan wudhu. Hukum batal atau tidak batal. Saya tidak berbicara halal-haram. Halal-haram adalah masalah lain. Bersentuhan kulit dengan wanita yang tidak ada hubungan mahromiyah atau tidak ada hubungan sebagai istri kita, hukumnya diharamkan oleh syariat.
Bersalaman dengan perempuan yang tidak ada ikatan mahromiyah, bukan anak kita, bukan ibu kita, bukan mahrom kita, dan juga bukan istri kita, apa hukumnya? Dilarang di dalam agama Islam. Rasulullah saw, seumur hidupnya tidak pernah menyentuh wanita yang tidak ada hubungan mahromiyah dengannya atau hubungan perkawinan dengannya.
Seumur hidupnya tidak pernah menyentuh wanita yang semacam itu. Beliau membaiat para sahabat termasuk wanita-wanita. Membaiat laki-laki dengan salaman dan membaiat perempuan cukup dengan ucapan.
Tanpa menyentuh tangan mereka, tanpa bersalaman dengan mereka. Bila ada orang yang berdalih “hati saya bersih, syahwat saya tidak bergerak”, Guru Mulia Al Habib Zen bin Ibrahim bin Sumaith ketika membahas ucapan seperti itu, beliau menjawab:
قلبك انجس القلوب
“Hatimu itu hati adalah yang paling najis”. Habib Zen mengatakan demikian. Beliau melanjutkan “kalau hatimu bersih, maka kamu tidak akan melanggar syariat Allah”. Itu cuma alasan untuk mensucikan diri. Namanya aturan Allah, tetap aturan Allah.
Hal keempat
Menyentuh kemaluan depan ataupun lubang kemaluan belakang dengan telapak tangannya. Ketika seseorang menyentuh kemaluan, baik kemaluan depan ataupun ataupun lubang kemaluan belakang laki-laki maupun perempuan, baik kemaluannya sendiri maupun kemaluannya orang lain dengan telapak tangannya maka hal semacam ini membatalkan wudhu, contoh Ibu memiliki wudhu akan batal wudhunya bila dia mengusap atau menggosok kemaluan anaknya, membersihkan setelah buang air besar (istinja anaknya).
Hal tersebut dikarenakan dia memegang kemaluan anaknya dengan telapak tangannya. Hal yang harus diperhatikan, yang membatalkan wudhu selain telapak tangan, misal kaki, siku, atau punggung tangan, hal tersebut itu tidak membatalkan wudhu. Yang membatalkan wudhu apabila menyentuhnya dengan telapak tangannya.
Telapak tangan adalah perut (bagian dalam) daripada telapak tangan kita ini, ظهر الكف punggungnya telapak tangan ini tidak membatalkan wudhu. Yang membatalkan wudhu ini perut daripada telapak tangan, tapi kalau menyentuh kemaluan dengan punggung telapak tangan serta punggung dari jari-jari tidak membatalkan wudhunya.
Bagaimana dengan pinggiran telapak tangan dan pinggiran jari-jari bila menyentuh kemaluan, apakah membatalkan wudhu? berikut penjelasannya: satukan perut dari telapak tangan kanan Anda dengan perut telapak tangan kiri, bagian yang tertutup adalah bagian yang membatalkan wudhu apabila digunakanuntuk memegang kemaluan, sedangkan bagian yang tidak tertutup, pinggiran telapak tangan pinggiran jari-jari, itu tidak membatalkan wudhu. Bila jari jempol diletakkan berpasangan bagian perutnya adalah bagian yang tertutup, itu yang membatalkan wudhu.
Lalu bagaimana bila ada orang sedang buang air kecil memegang kemaluannya menggunakan dua jari bagian sisi luarnya, apakah batal wudhunya?. Tentu saja dia batal wudhunya namun bukan karena dia menyetuh kemaluannya namun karena buang air kecilnya.
seringkali ada yang mengatakan perkara terkena najis setelah berwudhu berkata, ”wah saya harus wudhu lagi karena batal wudhu“. Tidak, terkena najis tidak membatalkan wudhu karena tidak termasuk 4 hal yang membatalkan wudhu. Najis harus disucikan tetapi bukan artinya najis membatalkan wudhu. Wudhu hanya batal dengan empat perkara yang telah disebutkan di atas.
Demikian pembahasan hal-hal yang membatalkan wudhu, semoga dapat dipahami dan membawa manfaat.
Sumber :
Kitab Risalatul Jami’ah
https://www.laduni.id/post/read/54634/menyentuh-istri-dapat-membatalkan-wudhu-inilah-jawabannya.html