Sumber gambar: freepik |
HARIANWANGON - Apa jadinya jika seorang konglomerat lebih memilih menantu miskin dan bertampang pas-pasan, sementara ia menolak banyak lelaki kaya raya yang silih berganti melamar putri cantiknya.
Inilah kisah Nuh bin Maryam, seorang hakim dan pemimpin kaya raya, tetapi menjodohkan putrinya dengan seorang budak tak berpunya bernama Mubarak. Kisah ini disampaikan oleh Imam al-Ghazali dalam At-Tibrul Masbûk fî Nashîhatuil Mulûk saat menjelaskan tips memilih menantu. Simak ceritanya.
Dikisahkan, di sebuah kota bernama Marw, Persia, terdapat seorang pria bernama Nuh bin Maryam. Ia merupakan seorang hakim dan gubernur di kota itu. Sudah tentu dia juga seorang ulama karena kualifikasi hakim zaman dulu mengharuskan demikian. Ia juga dikenal sebagai sosok yang kaya raya. Nuh memiliki seorang putri berparas cantik dan memiliki karier yang bagus.
Karena putrinya sudah perawan dan memasuki usia untuk menikah, Nuh berencana mulai mencarikannya pasangan. Banyak laki-laki kaya dan berpangkat tinggi datang untuk melamarnya. Namun, semua itu justru membuat Nuh bingung dan tidak terburu-buru memilih. Hemat dia, jika memilih salah satu lelaki itu, khawatir yang lain akan tersinggung.
“Aku bingung, kalau pilihkan salah satu dari mereka, nanti yang lain akan tersinggung,” keluhnya. Nuh terus dalam kebingungan, sementara putrinya sudah harus secepatnya dinikahkan karena sudah memasuki usia harus berumah tangga. Lebih Memilih Menantu Budak Dikisahkan, Nuh memiliki seorang budak laki-laki yang sangat bertakwa berkebangsaan India bernama Mubarak.
Ia adalah pria miskin yang tidak punya apa-apa. Nuh memiliki kebun yang sangat luas yang ia tanami berbagai macam pohon, buah-buahan, dan aneka tumbuhan. Ia menugasi Mubarak untuk merawatnya. Hingga satu bulan berlalu, Nuh meminta Mubarak untuk memetikkan segenggam anggur untuknya.
“Wahai Mubarak, petikkan aku segenggam anggur.” “Baik, Tuan. Segera saya ambilkan,” jawab Mubarak patuh. Setelah segenggam anggur ia dapatkan, Mubarak memberikan kepada tuannya. Semua anggur yang ia petik ternyata masam. Nuh pun menyuruhnya memetik seganggam lagi. Namun hal serupa terjadi, semua anggur masam. Nuh heran dan berkata kapada budaknya,
“Mubarak, dari anggur sebanyak ini, kenapa kamu tidak bisa membedakan mana yang manis dan mana yang masam?!”
“Maaf, Tuan. Aku benar-benar tidak tahu mana yang manis dan mana yang masam,” jawab Mubarak.
“Kau ini bagaimana?! Sudah satu bulan penuh kau mengurus kebun ini, tapi membedakan jenis anggur saja tidak bisa.”
“Benar, Tuan. Aku memang tidak bisa membedakan rasanya.” “Kau kan bisa mencicipinya agar tahu mana yang manis dan mana yang masam.”
“Maaf, Tuan. Engkau hanya memerintahkanku untuk menjaganya, bukan mencicipi. Aku tidak ingin mengkhianatimu.”
Mendengar jawaban Mubarak, Nuh tertegun dan tahu bahwa budaknya adalah lelaki yang cerdas dan memiliki moral luhur.
“Wahai anak muda, aku sangat senang dengan prinsipmu. Sekarang aku punya satu perintah untukmu.” “Apapun perintahnya, akan aku turuti, Tuan.”
“Aku punya putri yang sangat cantik. Sudah banyak laki-laki penting dan kaya raya yang datang untuk melamar, tapi belum juga aku menentukan pilihan.
Apakah kamu punya saran untukku?”
Mubarak lalu menjawab begini:
إن الكفار في زمن الجاهلية كانوا يريدون الأصل والنسب والبيت والحسب واليهود والنصارى يطلبون الحسن والجمال وفي عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم كان الناس يطلبون الدين والتقى. أما وفي زماننا هذا فالناس يطلبون المال فاختر من هذه الأربعة ما تريد
Artinya, "Dalam memilih menantu, dulu orang-orang kafir zaman ahiliah melihat siapa orang tuanya, bagaimana reputasinya, seperti apa rumahnya, dan berapa besar kekayaannya. Sementara umat Yahudi dan Nasrani melihat sejauh mana kecantikan dan kemolekannya. Pada zaman Rasulullah sendiri, yang jadi pertimbangan adalah kualitas agama dan ketakwaannya.
Pada zaman kita sekarang, kekayaan menjadi prioritas utama. Silakan, tuan pilih di antara empat ini." “Wahai pemuda, aku lebih memilih calon menantu yang agamanya kokoh, bertakwa, dan amanah. Sebab itu, aku ingin kau yang menjadi menantuku. Aku sudah menemukan kebiakan dalam dirimu. Agamamu kokoh dan moralmu luar biasa.”
“Tapi, tuan, aku hanya seorang budak India berkulit hitam yang dulu engkau beli. Kenapa sekarang justru tuan ingin mengangkatku sebagai menantu?” jawab Mubarak setengah tidak percaya. Ia hanya bisa mematuhi kemauan tuannya.
Nuh akhirnya menyampaikan niatnya kepada istri untuk berembug. “Suamiku, semua keputusan ada di tanganmu. Tetapi, aku akan sampaikan dulu hal ini kepada putri kita. Aku ingin mendengar jawabannya dulu,” kata sang istri.
Setelah mendengar tawaran itu, putri mereka menyerahkan pilihan kedua orang tua. “Jika hal ini sudah menjadi keputusan ibu dan bapak, aku akan mematuhinya. Aku tidak akan pernah menentang perintah kalian berdua.”
Mubarak pun menikah dengan putri Nuh bin Maryam. Dari kedua pasangan ini kemudian lahir Abdullah bin Mubarak yang kelak menjadi seorang ulama besar. Ia dikenal sebagai seorang ‘alim yang zuhud dan banyak meriwayatkan hadits Nabi. Namanya begitu harum dan sangat familiar dalam dunia intelektual Muslim. (Imam al-Ghazali, At-Tibrul Masbûk fî Nashîhatuil Mulûk, 1988: 122-123). Wallahu a’lam.
Sumber: islam.nu.or.id