Sumber Gambar : iStock |
HARIANWANGON - Mengapa anjing tergolong hewan yang najis? Dan bila terkena air liurnya, mengapa harus disucikan sebanyak 7 kali yang salah satunya dicampur dengan tanah atau debu? Pertanyaan ini sering mengemuka di kalangan umat Islam, bahkan nonmuslim juga sering mempertanyakannya.
Jika memang Agama Islam adalah agama yang benar, maka akan ada penjelasan logis dan bukti sejarah dari konsep najis anjing yang akan diketahui oleh manusia dari zaman ke zaman. Bagi umat Islam di Indonesia yang sebagian besar mengikuti Mazhab Syafi’i, kenajisan air liur anjing termasuk ke dalam kelompok najis berat. Tidak hanya Mazhab Syafi’i, Mazhab Hanbali juga memandang status kenajisan air liur anjing dan yang terkait dengannya sebagai najis berat.
Pandangan yang berbeda tentang status najis anjing disampaikan oleh Mazhab Maliki dan Hanafi. Namun, kedua mazhab tersebut tetap mensyariatkan untuk membasuh air liur anjing 7 kali dan salah satunya dengan dicampur tanah. Bahkan, dalam Kitab Bidayatul Mujtahid, salah satu pandangan dari ulama Mazhab Maliki mengungkapkan alasan logis, yaitu kemungkinan adanya racun di air liur anjing sehingga harus dibasuh 7 kali sebagai kaidah pengobatan.
Para ulama mazhab sebenarnya memiliki pandangan yang sangat jauh melintasi zaman kehidupannya. Mereka yakin bahwa kelak pendapat-pendapat dalam mazhabnya akan semakin terkuak kebenarannya. Meskipun ada perbedaan, banyak sekali hikmah yang dapat diperoleh sehingga memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi oleh kaum muslimin. Hikmah ini terbukti dengan pembahasan status air liur anjing yang semuanya bermuara pada kebenaran ajaran Islam.
Sekadar contoh, status kenajisan anjing dalam Mazhab Syafi’i dan Hanbali ternyata dikuatkan oleh sains modern. Sebagai landasan ilmiah, sebuah syarah kitab dari Mazhab Hanbali memaparkan alasan logis kenajisan anjing tersebut. Kitab itu berjudul Ihkamul Ahkam Syarah ‘Umdatul Ahkam yang ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir. Kitab ‘Umdatul Ahkam ditulis oleh ulama dari Mazhab Hanbali yang bernama Abdul Ghani Al-Maqdisi. Syarahnya yang berjudul Ihkamul Ahkam ditulis oleh Ibnu Daqiq Al-Id. Dalam kitab yang ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir, ternyata ada catatan kaki yang menjelaskan landasan ilmiah kenajisan anjing dari sisi kesehatan.
Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Hurairah yang dijelaskan dalam kitab tersebut berbunyi:
إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعا وَلِمُسْلِمٍ:أُولاهُنَّ بِالتُّرَابِ
Artinya: “Apabila anjing minum dari wadah salah seorang di antaramu, maka basuhlah tujuh kali.” Dalam riwayat Muslim, yang pertama dengan debu. Hadits di atas sangat jelas menyatakan bahwa perkakas atau bejana yang disentuh atau dijilat oleh anjing dianggap najis dan kandungan di dalamnya juga menjadi najis sehingga harus dibuang.
Lebih lanjut dikatakan bahwa perkakas itu harus dicuci tujuh kali dengan air, yang salah satunya dicampur dengan debu atau tanah. Mengapa peralatan itu harus dicuci tujuh kali dan apa hikmah di balik pencucian dengan debu atau tanah? Catatan kaki kitab tersebut menjelaskan berdasarkan tinjauan sains modern sebagai berikut: “Harus jelas bahwa hanya untuk membersihkan sesuatu dari najis (ringan atau sedang), tidak perlu mencucinya sebanyak tujuh kali. Filosofi membersihkan sesuatu selama tujuh kali (pada najis berat) berbeda dengan penyucian sederhana pada najis lainnya.
Dokter masa kini mengatakan bahwa di sebagian besar usus anjing, ada kuman dan cacing kecil yang ukurannya kurang lebih 4 mm. Cacing ini keluar dari usus bersamaan dengan kotoran dan menempel pada bulu di sekitar anus. Saat anjing membersihkan tempat ini dengan lidahnya, lidah itu akan kotor dengan organisme ini. Jika seekor anjing menjilati panci atau seseorang mencium anjing itu, seperti yang dilakukan wanita Eropa dan Amerika, kuman ini dipindahkan dari anjing ke panci atau ke mulut wanita itu dan kemudian ke perut.
Organisme ini terus bergerak, dan menembus ke dalam sel darah sehingga menyebabkan banyak penyakit mematikan bagi manusia. Karena deteksi kuman ini tidak mungkin dilakukan tanpa tes mikroskopis, syariat (hukum Islam) menyatakan air liur anjing sebagai najis dengan perintah umum, dan apapun yang tercemar air liur anjing harus dibersihkan tujuh kali (yang pada suatu waktu harus dengan tanah) untuk memastikan kesuciannya.” (Ahmad Muhammad Syakir, Ihkamul Ahkam Syarah ‘Umdatul Ahkam, [Kairo, Darul Kutub As-Salafiyah: 1955 M], juz I, halaman 74-75).
Saat ini, organisme yang disebut kuman dalam air liur anjing terbukti banyak sekali. Mulai dari virus rabies hingga mikroorganisme lainnya dapat berasal dari liur anjing. Sedangkan cacing yang dimaksud dalam kutipan di atas adalah cacing pita yang bisa terbawa oleh jilatan anjing dari daerah anusnya ke daerah lain dari tubuhnya seiring kebiasaan anjing menjilati tubuhnya sendiri. Cacing pita ini dapat berpindah dan menyebar ke makhluk hidup lain di sekitar anjing itu, termasuk manusia. Infeksi cacing pita pada anjing peliharaan maupun anjing liar kerap terjadi. Kejadian terbaru di Kanada menunjukkan bahwa infeksi cacing pita pada koyote atau serigala prairie (jenis anjing) dapat menimbulkan tumor fatal pada manusia.
Kejadian tersebut telah menyebar di daerah Alberta sejak 2012 dan ditengarai dibawa oleh anjing ras Eropa yang masuk ke Kanada. Infeksi ini menimbulkan tumor pada hati manusia dan dapat menimbulkan kematian hingga 90%. Sejarah anjing peliharaan dan interaksinya dengan manusia diperkirakan sudah berlangsung sejak 14.000 hingga 32.000 tahun lalu. Sebuah salinan sejarah dari Bangsa Sumeria kuno telah menetapkan hukum tentang akibat gigitan anjing pada tahun 1930 sebelum Masehi. Hal ini menunjukkan bahwa risiko kematian dan gigitan anjing telah menjadi hubungan akibat-sebab yang dipastikan bahayanya sejak 4000 tahun yang lalu (Tarantola, 2017, Four Thousand Years of Concept Relating to Rabies in Animals and Humans, Its Prevention and Its Cure, Tropical Medicine and Infectious Disease [2].5).
Konsep penyakit rabies juga dicetuskan oleh ahli pengobatan kuno yang bernama Galen dengan ungkapannya yang menarik. Galen mencapai simpulan bahwa hanya anjing yang menjadi inang alami rabies dan setetes air liur anjing rabies di kulit manusia dapat menyebabkan hidrofobia pada manusia. Hidrofobia merupakan kondisi takut terhadap air, padahal umat Islam sangat membutuhkan air untuk bersuci dalam rangka beribadah. Kedokteran modern membuktikan bahwa reseptor manusia memiliki kesamaan dengan anjing dalam penularan rabies. Reseptor adalah tempat perlekatan virus pada tubuh yang akan menimbulkan masuknya penyakit. Kesamaan reseptor inilah yang membuat manusia secara khusus berisiko tertular penyakit dari anjing bila berdekatan dengannya.
Dengan bukti inilah, relevansi ajaran Islam dengan menjauhi anjing bila tidak ada kepentingan yang syar’i memiliki titik temu. Para ahli juga mengemukakan bahwa semua anjing dapat menjadi pembawa penyakit rabies. Penelitian di Nigeria membuktikan bahwa dalam tubuh anjing yang sehat pun dapat ditemukan antigen virus rabies di liur dan otaknya (Mshelbwala, 2014, Prevalence of Rabies Antigen in the Saliva and Brains of Apparently Healthy Dogs Slaughtered for Human Consumption in Abia State, Nigeria, Department of Veterinary Medicine Ahmadu Bello University, Zaria, Nigeria). Penelitian di Jepang bahkan menyimpulkan bahwa rabies merupakan penyakit yang tidak akan musnah selama masih ada anjing. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa setelah dinyatakan bebas rabies selama 50 tahun, Jepang kembali kedatangan penyakit itu.
Mereka menyimpulkan bahwa rabies bisa dicegah, tetapi tidak akan hilang. Bahkan untuk penyakit infeksi yang lebih mematikan, seperti sepsis yang bisa menyerang manusia, para ahli bersimpulan bahwa penyakit itu dibawa oleh anjing yang sehat. Para ahli tidak bisa menghilangkannya dari anjing sehingga mereka harus menganggap bahwa setiap anjing adalah pembawa penyakit mematikan tersebut. Berdasarkan risiko-risiko yang terdapat pada anjing dan bukti-bukti sejarah tersebut, maka selayaknya kaum muslimin menjauhinya. Namun, sebagai sesama makhluk anjing juga mempunyai hak hidup dan umat Islam wajib memenuhinya sesuai dengan kaidah-kaidah syariat.
Wallahu a’lam bis shawab.