HARIANWANGON - Mengawali tahun merupakan momen istimewa bagi Nahdliyin atau warga NU karena pada bulan Januari NU dideklarasikan oleh para ulama pesantren, tepatnya pada 31 Januari 1926 atau bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H. Pada Januari tahun 2023 ini, NU mencapai usia ke-97 tahun versi Masehi dan akan genap 1 Abad pada 16 Rajab 1444 H mendatang.
Menurut catatan Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010), ada tiga motivasi berdirinya NU yaitu motivasi agama, membangun nasionalisme, dan mempertahankan akidah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja).
Jadi berdirinya NU tidak semata-mata hanya menegakkan syiar agama Islam dan akidah Aswaja, tetapi juga menanamkan spirit nasionalisme (termasuk kemandirian ekonomi) sebagai bekal berharga untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme. Fondasi gerakan para ulama pesantren masih terus relevan mengingat bangsa Indonesia yang kerap dihadapkan pada persoalan agama, sosial-kemasyarakatan, dan problem kebangsaan.
Sebab itu, NU disebut sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah yaitu organisasi sosial keagamaan. Peran-peran sosial NU mencakup segala lini kehidupan manusia, termasuk problem global atau persoalan masyarakat dunia. Kini, NU dengan anak-anak mudanya juga aktif di bidang teknologi informasi yang merupakan bekal penting menghadapi era disrupsi.
NU dengan tradisi teks keagamaannya di pesantren mampu menjawab setiap problem keagamaan dan sosial di tengah masyarakat yang semakin modern dan plural. Di sinilah yang disebut KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) agama sebagai etika sosial yang hadir memberikan solusi bagi setiap problem kemasyarakatan. Bukan dijadikan sebagai alat politik yang semata-mata hanya untuk meraih kekuasaan. Karena jika demikian, maka akhirnya yang muncul adalah kekacauan dan keburukan (mudharat) atas nama legitimasi agama.
Sejarah Singkat NU Berdiri
Berdirinya NU melibatkan ikhtiar batin para kiai, di antaranya KH Cholil Bangkalan, KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH As’ad Syamsul Arifin, dan lainnya.
Akhir 1925 santri As’ad kembali diutus Kiai Cholil untuk mengantarkan seuntai tasbih lengkap dengan bacaan Asmaul Husna (Ya Jabbar, Ya Qahhar. Berarti menyebut nama Tuhan Yang Maha Perkasa) ke tempat yang sama dan ditujukan kepada orang sama yaitu Kiai Hasyim Asy'ari.
Kala itu, setibanya di Tebuireng, santri As’ad menyampaikan tasbih yang dikalungkan oleh dirinya dan mempersilakan KH Hasyim Asy’ari untuk mengambilnya sendiri dari leher As’ad. Bukan bermaksud As’ad tidak ingin mengambilkannya untuk Kiai Hasyim Asy’ari, melainkan dia tidak ingin menyentuh tasbih sebagai amanah dari KH Cholil Bangkalan kepada KH Hasyim Asy’ari.
Sebab itu, tasbih tidak tersentuh sedikit pun oleh tangan As’ad selama berjalan kaki dari Bangkalan ke Tebuireng. Setelah tasbih diambil, Kiai Hasyim Asy’ari bertanya kepada As’ad: “Apakah ada pesan lain lagi dari Bangkalan?” Kontan As’ad hanya menjawab: “Ya Jabbar, Ya Qahhar”, dua asmaul husna tarsebut diulang oleh As’ad hingga tiga kali sesuai pesan sang guru. Setelah mendengar lantunan itu, Kiai Hasyim Asy’ari kemudian berkata, “Allah SWT telah memperbolehkan kita untuk mendirikan jam’iyyah”. (Choirul Anam, 2010: 72)
Petunjuk sebelumnya, pada akhir 1924 santri As’ad diminta oleh Kiai Cholil untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-Qur’an Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa as.
Awalnya, KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) sekitar tahun 1924 menggagas pendirian Jam’iyyah yang langsung disampaikan kepada Kiai Hasyim Asy’ari untuk meminta persetujuan. Namun, Kiai Hasyim tidak lantas menyetujui terlebih dahulu sebelum ia melakukan shalat istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT.
Sikap bijaksana dan kehati-hatian Kiai Hasyim dalam menyambut usulan Kiai Wahab juga dilandasi oleh berbagai hal, di antaranya posisi Kiai Hasyim saat itu lebih dikenal sebagai Bapak Umat Islam Indonesia (Jawa). Kiai Hasyim juga menjadi tempat meminta nasihat bagi para tokoh pergerakan nasional. Peran kebangsaan yang luas dari Kiai Hasyim Asy’ari itu membuat ide untuk mendirikan sebuah organisasi harus dikaji secara mendalam.
Hasil dari istikharah Kiai Hasyim Asy’ari dikisahkan oleh KH As’ad Syamsul Arifin. Kiai As’ad mengungkapkan, petunjuk hasil dari istikharah Kiai Hasyim Asy’ari justru tidak jatuh di tangannya untuk mengambil keputusan, melainkan diterima oleh KH Cholil Bangkalan, yang juga guru Kiai Hasyim dan Kiai Wahab.
Dari petunjuk tersebut, Kiai As’ad yang ketika itu menjadi santri Kiai Cholil berperan sebagai mediator antara Kiai Cholil dan Kiai Hasyim. Ada dua petunjuk yang harus dilaksanakan oleh Kiai As’ad sebagai penghubung atau washilah untuk menyampaikan amanah Kiai Cholil kepada Kiai Hasyim.
Dari proses lahir dan batin yang cukup panjang tersebut menggambarkan bahwa lika-liku lahirnya NU tidak banyak bertumpu pada perangkat formal sebagaimana lazimnya pembentukan organisasi. NU lahir berdasarkan petunjuk Allah SWT. Nampak di sini, fungsi ide dan gagasan tidak terlihat mendominasi, meskipun tetap menjadi alasan penting. Faktor penentu adalah konfirmasi kepada Allah SWT melalui ikhtiar lahir dan batin.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa berdirinya NU merupakan rangkaian panjang dari sejumlah perjuangan. Karena berdirinya NU merupakan respons dari berbagai problem keagamaan, peneguhan mazhab, serta alasan-alasan kebangsaan dan sosial-masyarakat.
Pendirian NU digawangi oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Sebelumnya para kiai pesantren telah mendirikan organisasi pergerakan Nahdlatul Wathan atau Kebangkitan Tanah Air pada 1916 serta Nahdlatut Tujjar atau Kebangkitan Saudagar pada 1918.
Kiai Wahab Chasbullah sebelumnya, yaitu 1914 juga mendirikan kelompok diskusi yang ia beri nama Tashwirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran, ada juga yang menyebutnya Nahdlatul Fikr atau kebangkitan pemikiran. Dengan kata lain, NU adalah lanjutan dari komunitas dan organisasi-organisasi yang telah berdiri sebelumnya, namun dengan cakupan dan segmen yang lebih luas.
Sejarah Komite Hijaz
Embrio lahirnya NU juga berangkat dari sejarah pembentukan Komite Hijaz. Problem keagamaan global yang dihadapi para ulama pesantren ialah ketika Dinasti Saud di Arab Saudi ingin membongkar makam Nabi Muhammad SAW karena menjadi tujuan ziarah seluruh Muslim di dunia yang dianggap bid’ah. Selain itu, Raja Saud juga ingin menerapkan kebijakan untuk menolak praktik bermadzhab di wilayah kekuasaannya. Karena ia hanya ingin menerapkan Wahabi sebagai madzhab resmi kerajaan.
Rencana kebijakan tersebut lantas dibawa ke Muktamar Dunia Islam (Muktamar ‘Alam Islami) di Makkah. Bagi ulama pesantren, sentimen anti-madzhab yang cenderung puritan dengan berupaya memberangus tradisi dan budaya yang berkembang di dunia Islam menjadi ancaman bagi kemajuan peradaban Islam itu sendiri.
Choirul Anam (2010) mencatat bahwa KH Abdul Wahab Chasbullah bertindak cepat ketika umat Islam yang tergabung dalam Central Comite Al-Islam (CCI)--dibentuk tahun 1921--yang kemudian bertransformasi menjadi Central Comite Chilafat (CCC)—dibentuk tahun 1925--akan mengirimkan delegasi ke Muktamar Dunia Islam di Makkah pada 1926.
Sebelumnya, CCC menyelenggarakan Kongres Al-Islam keempat pada 21-27 Agustus 1925 di Yogyakarta. Dalam forum ini, Kiai Wahab secara cepat menyampaikan pendapatnya menanggapi akan diselenggarakannya Muktamar Dunia Islam. Usul Kiai Wahab antara lain: “Delegasi CCC yang akan dikirim ke Muktamar Islam di Mekkah harus mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk melindungi kebebasan bermadzhab. Sistem bermadzhab yang selama ini berjalan di tanah Hijaz harus tetap dipertahankan dan diberikan kebebasan”.
Kiai Wahab beberapa kali melakukan pendekatan kepada para tokoh CCC yaitu W. Wondoamiseno, KH Mas Mansur, dan H.O.S Tjokroamonoto, juga Ahmad Soorkati. Namun, diplomasi Kiai Wahab terkait Risalah yang berusaha disampaikannya kepada Raja Ibnu Sa’ud selalu berakhir dengan kekecewaan karena sikap tidak kooperatif dari para kelompok modernis tersebut.
Hal ini membuat Kiai Wahab akhirnya melakukan langkah strategis dengan membentuk panitia tersendiri yang kemudian dikenal dengan Komite Hijaz pada Januari 1926. Pembentukan Komite Hijaz yang akan dikirim ke Muktamar Dunia Islam ini telah mendapat restu KH Hasyim Asy’ari.
Perhitungan sudah matang dan izin dari KH Hasyim Asy’ari pun telah dikantongi. Maka pada 31 Januari 1926, Komite Hijaz mengundang ulama terkemuka untuk mengadakan pembicaraan mengenai utusan yang akan dikirim ke Muktamar di Mekkah. Para ulama dipimpin KH Hasyim Asy’ari datang ke Kertopaten, Surabaya dan sepakat menunjuk KH Raden Asnawi Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz.
Namun setelah KH Raden Asnawi terpilih, timbul pertanyaan siapa atau institusi apa yang berhak mengirim Kiai Asnawi? Maka lahirlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama (nama ini atas usul KH Mas Alwi bin Abdul Aziz) pada 16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan 31 Januari 1926 M.
Riwayat-riwayat tersebut berkelindan satu sama lain, yaitu ikhtiar lahir dan batin. Peristiwa sejarah tersebut juga membuktikan bahwa NU lahir tidak hanya untuk merespons kondisi penjajahan, problem keagamaan, dan problem sosial di tanah air, tetapi juga menegakkan warisan-warisan kebudayaan dan peradaban Islam yang telah diperjuangkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya.
Tepat hari ini pada 31 Januari 2023, NU akan berusia 97 tahun dalam hitungan tahun Masehi. Sedangkan pada 16 Rajab 1444 mendatang, NU menginjak umur 1 Abad. Selama hampir satu abad tersebut, sejak awal kelahirannya hingga saat ini, NU telah berhasil memberikan sumbangsih terhadap kehidupan beragama yang ramah di tengah kemajemukan bangsa Indonesia.
Setiap tahun, Harlah NU diperingati dua kali, 31 Januari dan 16 Rajab. Namun, peringatan hari lahir resmi yang diatur dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) NU yaitu harlah dalam perhitungan tahun Hijriyah, yakni 16 Rajab. Tetapi, NU juga tidak melarang warganya untuk memperingati harlah versi Masehi, yaitu 31 Januari.