Sumber foto : ig@jaringangusdurian |
HARIANWANGON - Siapa yang tak mengenal Gus Dur di negeri ini. Meskipun telah wafat pada 30 Desember 2009 yang lalu, namun buah karya dalam ide, pemikiran, tindakan maupun tulisan-tulisanya masih hidup sampai saat ini.
Gus Dur terlahir dengan nama Abdurrahman Addakhil, dengan kata ‘Addakhil’ yang berarti “Sang Penakluk” di tahun 1940 tanggal 7 bulan September. Belakangan diputuskan nama “Wahid” yang akhirnya menyempurnakan Abdurrahman Wahid, karena kata Addakhil kurang dikenal. ‘Wahid’ sendiri menandakan bahwa dia anak pertama.
Pada usia sembilan tahun dia pindah dari tanah kelahirannya Jombang ke Jakarta. Hal ini menyusul diangkatnya sang Ayah, KH. Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama saat itu. Di ibukota, dia bersekolah di SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Di tahun 1954 Wahid masuk ke SMP. Karena tinggal kelas, dia dipindahkan ibunya ke Yogyakarta dan meneruskan SMP-nya di sana selain belajar di Ponpes Krapyak asuhan KH. Ali Maksum sampai dia lulus di tahun ’57.
Menulis Sejak Masih Sekolah
Selepas dari Jogja, Wahid berpindah ke Magelang untuk belajar Pendidikan Muslim di Ponpes Tegalrejo, dan di medio ’59 dia kembali ke Jombang untuk belajar ilmu agama di Ponpes Tambakberas. Selain belajar, dia juga bekerja sebagai guru dan kelak menjadi kepala sekolah di sebuah madrasah. Debutnya sebagai wartawan adalah saat dirinya dipekerjakan sebagai jurnalis di Majalah Horizon dan Budaya Jaya.
Saat belajar di Mesir dan Irak di tahun 1964-1970, dia juga aktif di Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi salah satu jurnalis di majalah asosiasi itu. Di tahun 1971, sesudah kembali ke tanah air, wahid bergabung LP3ES. Yaitu organisasi tempat berkumpulnya kaum intelektual muslim progresif dan aktivis sosial. Di organisasi itu pula Gus Dur aktif sebagai kontributor utama Majalah Prisma.
Selanjutnya penggemar tontonan sepakbola Eropa dan Amerika Latin ini konsisten sebagai jurnalis dan menulis banyak artikel untuk koran dan majalah di tanah air, seperti Tempo salah satunya.
Dekat dengan Tempo
Sebelum punya pekerjaan tetap, dia kerap ke kantor Tempo di Proyek Senen untuk menulis. Di majalah ini, Gus Dur menulis 105 tulisan dalam kurun 1975-1992. Ketika datang, dia selalu mencari meja yang kosong untuk menulis.
“Tapi paling sering dia duduk di meja saya,” kata Fikri Jufri, Redaktur Senior Tempo.
Saking sering dan produktifnya Gus Dur menulis, sampai-sampai Goenawan Mohamad Pemred Tempo kala itu sampai menyediakan meja khusus untuknya. Mungkin maksudnya supaya tidak “mengkudeta” meja milik redaksi.
Di tahun 1982, Gus Dur lebih sering datang. Itu tak lepas karena Sinta Nuriyah, istrinya, menjadi salah satu redaktur di majalah Zaman. Majalah yang kantornya bersebelahan dengan kantor Tempo di Proyek Senen. Jadi sambil menunggu waktu pulang sang istri, Gus Dur kerap nongkrong di Tempo, entah sambil menulis atau diskusi dengan kawan-kawannya di sana.
Begitulah Gus Dur, mantan Presiden RI ke-4 ini pernah menjadi bagian dari jurnalis tanah air. Kalian warga UNY semester 1-5, kalian juga bisa jadi bagian dari jurnalis EKSPRESI UNY. Majalah Persma Juara 1 se-Jogja (workshop dan lomba majalah kampus Gatra di UGM 2011) dan finalis terbaik nasional versi majalah yang sama.